Ada
suatu faktor yang harus dipahami lebih lanjut, berkenaan dengan
kemunculannya dalam “fisika keberpasangan”, yaitu ketakberhinggaan. Bagi
para matematikawan umumnya, faktor ∞ selalu didekatkan pada pengertian
tak terdefinisi atau tak dapat dimengerti. Apakah anggapan tersebut
betul-betul sahih?
Seorang cendikiawan Yunani,
Pythagoras, meyakini bahwa jagat raya adalah kumpulan harmoni musik yang
sangat indah. Melalui instrumen musik, beliau menemukan hubungan antara
angka-angka dan musik. Angka adalah simbol-simbol yang menyusun
syair-syair alam. Gerakan benda-benda, planet-planet, dan
bintang-gemintang di ruang angkasa bersatu-padu menghasilkan simfoni
keharmonisan semesta. Selanjutnya, beliau mengubah bilangan-bilangan
dari alat musiknya menjadi sebuah prinsip kehidupan yang pokok. Beliau
lalu menyebut filosofi tersebut dengan nama ‘matematika’, sebuah kosa
kata yang sangat akrab bagi siapapun yang hidup di era modern ini.
Rumit
Orang kebanyakan mengira bahwa matematika itu sulit, rumit, dan ribet.
Sulitnya karena bahasa yang digunakan bukan bahasa sehari-hari,
rumitnya karena untuk berbicara dalam bahasa matematika harus
menggunakan langkah-langkah metodik yang baku, sedangkan ribetnya karena terkadang metode-metode tersebut sangat tidak mentolelir kealpaan.
Matematika itu tidak seperti
gambaran sebagian besar orang. Ia sama sekali tidak menakutkan. Yang
penting ditekankan adalah ada sesuatu yang kurang dalam matematika.
Semua orang telah mafhum bahwa alam semesta itu mencakup wilayah dari
angka nol sampai tak berhingga. Fisika memiliki ruang dan waktu dari v=0
sampai dengan v=∞. Dalam sistem bilangan, angka dimulai dari 0 dan
berakhir pada ∞. Namun sejauh ini angka ∞ diyakini tak memiliki hakikat
karena tidak bisa dipahami.
Bagaimanakah asal-usul faktor
ketakberhinggaan? Semua itu bermula dari Pythagoras. Banyak orang
menganggap beliau adalah perpaduan antara Einstein dan Maharesi. Beliau
berpandangan bahwa semua hal adalah susunan bilangan-bilangan yang
sangat teratur. Beliau membagi sistem bilangan menjadi dua, yakni
bilangan ganjil dan bilangan genap, yang masing-masing selalu berdiri
sendiri. Akan tetapi, beliau lebih dikenal dengan Teorema Trigonometri
tentang hubungan sisi-sisi pada segitiga siku-siku. Sayangnya, teorema
ini justru satu-satunya penyebab rusaknya keharmonisan semesta
matematika beliau sendiri.
Pythagoras telah menemukan bahwa
jumlah akar dari kuadrat panjang sisi-sisi pada segitiga siku-siku sama
dengan panjang sisi miringnya. Di era modern ini, orang-orang biasa
menuliskannya dengan notasi:
A=√B2+C2.
Pythagoras
memisalkan hubungan teoremanya dengan susunan ubin-ubin persegi pada
lantai. Misalnya ada segitiga siku-siku yang memiliki panjang sisi B
adalah 3 ubin dan panjang sisi C adalah 4 ubin, maka agar diperoleh
sudut siku-siku, 5 ubin harus terpasang tepat pada sisi A.
Suatu hari seorang pengikut
Pythagoras, bernama Hippasus, menemukan paradoks menjengkelkan yang
menghancurkan kesimetrikan tersebut. Dalam sebuah pelayaran, dia
iseng-iseng menyusun 1 ubin untuk sisi B dan 1 ubin lagi untuk sisi C.
Namun setelah diusahakan dengan susah-payah, ternyata harus ada
ubin-ubin yang dipotong-potong untuk mengisi penuh sisi A, agar sisi B
dan sisi C menjadi siku-siku. Dengan memakai prosedur yang sama,
Hippasus menemukan bilangan yang bersifat genap dan ganjil secara
bersamaan, yaitu √12+12=√2. Semua orang di kapal
itu tidak bisa menemukan nilai pasti dari √2. Mereka pun sepakat untuk
menyembunyikan eksperimen ini, namun tetap saja bocor. Itulah awal dari
mimpi buruk ketakberhinggaan.
Meskipun terkesan sepele, implikasi
masalah √2 sangat luar biasa. Semua upaya untuk menyatakann √2 sebagai
fraksi bilangan utuh telah gagal. √2 bersifat genap dan ganjil secara
bersamaan. Sampai sekarang, kita menyebut bilangan seperti itu sebagai
bilangan irrasional, bilangan yang tak masuk akal. Ia seharusnya
bilangan, tapi ia tidak bisa dituliskan. Bilangan yang bersifat genap
dan ganjil secara serentak adalah paradoks, yang kemudian menimbulkan
paradoks yang lebih membingungkan, yaitu The Achilles.
Pada masa Yunani kuno, hidup seorang filusuf yang bernama Zeno. Ia mengusulkan paradoks abadi yang terkenal dengan sebutan The Achilles.
Achille adalah pelari tercepat di zamannya. Dia berupaya menangkap
seekor kura-kura. Akan tetapi, ketika ia mencapai posisi dimana
kura-kura mulai bergerak, si kura-kura ternyata telah jauh melampauinya.
Lalu ia pun bergegas mengejarnya kembali, tetapi ketika ia sampai di
posisi kura-kura kembali, tiba-tiba ia telah ditinggalkannya kembali.
Dan ketika Achille berupaya mengejarnya kembali, kasus serupa pun
terjadi, terjadi, dan terjadi lagi terus-menerus sampai tak terhingga
banyaknya. Sederhananya, yang bergerak cepat tidak akan pernah menyalip
yang bergerak lambat, hanya saja jarak yang memisahkan mereka akan
semakin berkurang dan berkurang, namun tidak akan pernah habis sama
sekali. Ini seperti memasukkan segitiga-segitiga agar memenuhi suatu
lingkaran. Tidak ada orang yang bisa dengan pasti menghitung seberapa
banyak segitiga yang dibutuhkan untuk mengisi seluruh ruang lingkaran,
atau sampai kapan Achille akan mendapatkan kura-kura tersebut.*
Bilangan
Bilangan adalah hal fundamental
dalam matematika. Bilangan merupakan bahasa logika yang biasanya ditulis
dengan angka-angka. Alam nyata memiliki materi yang cenderung diam pada
titik normal v=0. Keadaan tersebut memungkinkan sistem bilangannya
berpusat pada angka 0. Angka 0 disebut sebagai bilangan netral, artinya
kalau ia ditambahkan bilangan tertentu maka akan menghasilkan bilangan
positif dan jika dikurangkan dengan bilangan tertentu maka akan
menghasilkan apa yang disebut bilangan negatif. Sistem inilah yang
dipakai dalam matematika konvensional.
Matematika konvensional tidak bisa
diterapkan dalam alam gaib. Bukankah sifat alam gaib selalu bertolak
belakang dengan alam nyata? Selama ini, angka ∞ selalu dipandang dari
sudut logika kita semata. Dalam logika mereka, yang kehidupannya
cenderung bergerak infinit pada titik v=∞, tentu sistem bilangannya
berpusat pada angka ∞. Angka ∞ adalah angka netral di alam gaib, seperti
halnya dengan angka 0 di alam nyata. Apabila ∞ ditambah bilangan
tertentu maka akan menghasilkan bilangan negatif, sedangkan apabila
dikurangkan bilangan tertentu justru akan membuatnya menjadi bilangan
positif.
Bilangan positif bersifat konkret,
intervalnya ada diantara angka 0 sampai angka ∞. Ambil contoh: saya
sekarang mempunyai 2 butir telur, sedangkan kemarin saya memecahkan
semua telur milik teman sebangku saya yang jumlahnya ada 5 butir.
Kalaupun semua telur yang saya miliki saat ini diserahkan kepadanya,
maka saya masih harus mengganti 3 telur lagi. Nah, angka 3 ini masih
bersifat abstrak, sehingga dikatakan bernilai negatif. Notasinya dapat
dituliskan 2-5=-3. Kasus serupa terjadi kalau saya memiliki telur sangat
banyak, bahkan tak terhingga, sampai-sampai memenuhi seluruh kolong
langit. Tiba-tiba teman saya mau memberi 2 butir telur lagi. Karena
semua telur yang ada di semesta ini telah saya miliki, maka 2 telur tadi
masih abstrak, sehingga dikatakan ia bernilai negatif. Notasinya dapat
dituliskan ∞+2=-2. Di sini matematika harus dipandang sebagai suatu
sistem yang terbagi dalam dua sistem berbeda yang saling berpasangan,
yakni sistem yang dibentuk angka netral 0 dan angka netral ∞.
Selama beberapa millenium ini
manusia hanya cenderung pada suatu bagian logika saja dan mengabaikan
bagian yang lain. Akibatnya, bagian logika yang dibangun angka netral 0
telah dikembangkan menjadi sistem canggih yang bisa membantu berbagai
pekerjaan kuantitatif manusia, misalnya kalkulus, geometri, algoritma,
dan probabilitas. Dan bagian lpgika yang dibangun angka netral ∞ bahkan
baru disadari sekarang.
*Dikutip sepenuhnya dari Seri Mengenal dan Memahami Newton dan Fisika Klasik
(William Rankin)
Sumber : Netsains
Tidak ada komentar:
Posting Komentar